News  

Asean Tourism Forum Bantu Pariwisata Bangkit dari Keterpurukan akibat Pandemi

Sugeng Handoko, pelopor desa wisata Nglanggeran, tampak sumringah menyambut kedatangan tamu-tamu dari badan pariwisata Sabah, Malaysia. Mereka hadir untuk menyemarakkan ASEAN Tourism Forum (ATF) di Yogyakarta sekaligus mengunjungi Nglanggeran.

“Hari ini, kita kedatangan rombongan tamu dari Malaysia karena ada kegiatan ASEAN Tourism Forum (ATF). Dia sekaligus mengagendakan datang, karena pengen sekali melihat dan berdiskusi dengan pengelola Nglanggeran,” ujar Sugeng, yang juga pengelola Nglanggeran kepada VOA, Jumat (3/2) pagi.

Nglanggeran dinobatkan oleh Organisasi Pariwisata PBB (UNWTO) sebagai salah satu desa wisata terbaik pada 2021.

Bagian dari pelaku wisata Malaysia yang berkunjung ke desa wisata Nglanggeran, Gunungkidul, DIY, Jumat (3/2) di sela mengikuti ATF. (Foto: Courtesy/Sugeng H)

Malaysia merupakan pasar penting bagi industri pariwisata di Tanah Air sepanjang pandemi COVID-19. Negeri Jiran itu menyumbang 1 juta pengunjung dari 4,5 juta wisatawan mancanegara (wisman) pada 2022. Begitupun bagi Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, yang mencatat 12 ribu kunjungan wisman tahun lalu. Sekitar separuh dari angka tersebut berasal dari Malaysia.

Selain Malaysia, Singapura juga tercatat menjadi sumber wisman utama. Karenanya, ASEAN dinilai menjadi tonggak penting bagi kebangkitan pariwisata panca pandemi, baik bagi DI Yogyakarta, maupun Indonesia secara umum.

Pandemi: Pukulan dan Pelajaran

Pelaku pariwisata belum pernah menemui cobaan sebesar pandemi sepanjang kiprah mereka.

Ketua GIPI DI Yogyakarta, Bobby Ardyanto Setyoajie. (Foto: Dok Pribadi)

Ketua GIPI DI Yogyakarta, Bobby Ardyanto Setyoajie. (Foto: Dok Pribadi)

“Dibanding peristiwa-peristiwa lain yang berpengaruh negatif terhadap tourism di Indonesia, pandemi merupakan pukulan telak dan terkuat sepanjang sejarah. Pandemi meluluhlantakkan dan me-restart industri pariwisata,” kata Bobby Ardyanto Setyoajie, Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) DI Yogyakarta kepada VOA.

Sejumlah faktor turut memperburuk dampak pandemi tersebut, seperti situasi yang tidak dapat diprediksi dan pembatasan mobilitas dan konektivitas.

“Padahal mobilitas dan konektivitas merupakan dasar pariwisata, karenanya itu bermakna tidak ada pergerakan pariwisata. Dan ini bukan hanya nasional atau regional, tetapi dunia internasional mengalami bersama,” tambahnya.

Pariwisata yang sebelumnya naik menjadi kebutuhan primer kembali menjadi prioritas sekunder.

Namun, pandemi memberi banyak pelajaran juga.

“Pandemi menyadarkan, bahwa pariwisata itu rentan dengan banyak isu. Isu kesehatan, isu politik, isu keamanan,” ujar Sugeng Handoko.

Tokoh pemuda penggerak desa wisata ini mengakui pandemi juga mengajarkan dan mengingatkan semua pihak untuk lebih menghargai dan menghormati alam, lingkungan dan pola hidup lebih baik, yang dikenal sebagai pariwisata berkelanjutan. Selain itu, mau tidak mau pelaku wisata didorong untuk lebih melek teknologi dan mengoptimalkan penggunaan internet.

Paket kunjungan ke Nglanggeran termasuk berkeliling kawasan pedesaan asri ini menggunakan kendaraan jeep, yang juga dicicipi pelaku wisata Malaysia. (Foto: Sugeng H)

Paket kunjungan ke Nglanggeran termasuk berkeliling kawasan pedesaan asri ini menggunakan kendaraan jeep, yang juga dicicipi pelaku wisata Malaysia. (Foto: Sugeng H)

ATF: Perangkat Bangkit

Di tengah upaya kebangkitan pariwisata itulah, ASEAN Tourism Forum digelar tahun ini di Yogyakarta. Bagi Sugeng Handoko, ajang ini menjadi kesempatan besar untuk membuka ruang pengenalan destinasi pada masa-masa awal kebangkitan. Kunjungan delegasi pelaku wisata Malaysia, pasar terbesar wisman saat ini adalah bukti nyata dampak ATF.

“Kita bisa meyakinkan bahwa kita bisa mengelola kondisi pandemi dengan baik, kita bisa bertahan dan melewati. Saya yakin, ajang ini akan membawa banyak inovasi wisata dan menjadi satu segmen pasar baru. Selain itu, ATF juga menjadi ajang diskusi, komunikasi dan kolaborasi di tingkat ASEAN,” ujarnya.

“ATF adalah salah satu tools recovery di tingkat ASEAN,” kata Bobby Ardyanto optimis.

Seorang anak bermain sendirian di Pantai Ngrenehan, Yogyakarta yang sepi dalam periode liburan Nataru 2021. (Foto: VOA/Nurhadi)

Seorang anak bermain sendirian di Pantai Ngrenehan, Yogyakarta yang sepi dalam periode liburan Nataru 2021. (Foto: VOA/Nurhadi)

Di mata wakil ketua Badan Promosi Pariwisata DI Yogyakarta ini, ATF akan menjadi momentum dan investasi pariwisata Indonesia, khususnya Yogyakarta. Apalagi, pasca pandemi banyak terjadi perubahan di pelaku industri pariwisata dan juga pola perjalanan wisata, kata Bobby.

Kesempatan besar itu terbuka karena konsumen dari negara-negara ASEAN, Rusia, China, Korea Selatan, India, dan Jepang yang juga turut menyemarakkan perhetalan tersebut. Negara-negara ini menjadi pasar potensial bagi Indonesia.

“Tidak hanya sisi pariwisatanya saja, tetapi juga ekonomi kreatif sebagai supporting, juga harapannya akan memberikan akselerasi pertumbuhan ekonomi, baik di Yogyakarta maupun Indonesia ke depan,” tambahnya.

GKR Hemas (memakai masker) melihat produk-produk di pameran yang menjadi bagian penyelenggaraan ATF di Yogyakarta. (Foto: Humas Pemda DIY)

GKR Hemas (memakai masker) melihat produk-produk di pameran yang menjadi bagian penyelenggaraan ATF di Yogyakarta. (Foto: Humas Pemda DIY)

Pariwisata juga menjadi salah satu pintu gerbang peningkatan bisnis kreatif, misalnya produk kerajinan oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Tidak heran jika Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) DI Yogyakarta, terlihat antusias.

“ATF ini membawa dampak yang luar biasa. Kita bisa menampilkan kerajinan dari Yogyakarta dan seluruh Indonesia. Menampilkan banyak produk UMKM yang juga sudah memberikan demonstrasinya. Juga ada transaksi antarnegara. Jadi ATF ini bisa membawa berkah untuk Yogya,” ujarnya, Kamis (2/2).

Bergerak ke Angka Normal

Yogyakarta mencatatkan nol kunjungan wisatawan asing sejak April 2020 hingga Maret 2022 di saat pandemi COVID-19 turut menghantam Indonesia. Geliat baru terasa pada April 2022, dengan adanya kunjungan 35 wisman, dan terus naik hingga Desember 2022. Menurut Amirudin, staf Badan Pusat Statistik, DI Yogyakarta, pada Desember terdapat 5.169 wisman yang datang.

Kompleks Candi Ratu Boko di Yogyakarta dibuka kembali awal Juni 2020 dengan protokol ketat. (Foto: PT TWC)

Kompleks Candi Ratu Boko di Yogyakarta dibuka kembali awal Juni 2020 dengan protokol ketat. (Foto: PT TWC)

“Ini benar-benar suatu kenaikan yang relatif sangat tinggi, fantastis. Karena pada bulan November sebelumnya, itu hanya sebesar 1.947 orang. Sehingga naik sebesar 165,49 persen,” ujarnya.

Total wisman yang berkunjung ke DI Yogyakarta sepanjang tahun 2022 adalah 12 ribu orang. Jumlah itu dipandang sudah cukup baik, meski baru 10 persen dari angka normal.

DI Yogyakarta menerima sekitar 9 ribu hingga 12 ribu wisman setiap bulan sebelum pandemi. Tahun 2017, total ada 145 ribu lebih wisman, lalu turun pada 2018 pada angka sekitar 138 ribu, dan turun lagi di 2019 dengan 113 ribu. Tahun 2020 ketika pandemi bermula, angkanya anjlok menjadi 18 ribu.

“Berdasarkan kebangsaan, yang berkunjung ke Yogyakarta itu yang pertama datang dari Malaysia, itu separuhnya lebih,” beber Amirudin

Stasiun Tugu, salah satu tengara utama di Yogyakarta. (Foto: VOA/Nurhadi)

Stasiun Tugu, salah satu tengara utama di Yogyakarta. (Foto: VOA/Nurhadi)

Setelah Malaysia, Singapura duduk di posisi kedua disusul Amerika Serikat sebagai negara asal Wisman. Sementara secara regional, ASEAN masih menjadi pasar utama sektor pariwisata DI Yogyakarta, dengan catatan kunjungan 81,19 persen.

Proses Bangkit yang Panjang

Direktur Pemasaran Wilayah Asia Pasifik Kemenparekraf/Baparekraf Wisnu Sindhutrisno mengakui sektor pariwisata butuh waktu untuk bangkit.

“Pemulihan pariwisata memang tidak instant, it takes a long time, tapi bagaimana kita terus melakukan berbagai berbagai upaya, step by step-nya,” kata Wisnu dalam ASEAN NTO’s Media Briefing, di Yogyakarta, Kamis (2/2).

Secara nasional, kunjungan wisman memang anjlok. Pada 2018 ada lebih 15 juta yang datang, dan menjadi lebih 16 juta pada 2019. Begitu COVID-19 menyerang pada 2020, angka itu turun drastis menjadi hanya 4 juta. Pada 2021, angkanya makin jatuh ke 1,5 juta.

Wisatawan tidak nampak di bangku-bangku di kawasan Titik Nol Yogyakarta saat pandemi menghantam Indonesia. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Wisatawan tidak nampak di bangku-bangku di kawasan Titik Nol Yogyakarta saat pandemi menghantam Indonesia. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Untungnya, hingga November 2022 kunjungan telah kembali seperti dua tahun sebelumnya, yaitu pada kisaran 4,5 juta wisman.

“Target kunjungan wisatawan mancanegara pada 2023 ini adalah kisaran 3,5 sampai 7,4 juta orang,” kata Wisnu.

Di internal, Kemenpar menyiapkan pelaku wisata agar lepas dari pandemi melalui vaksinasi dan penerapan program sertifikasi CHSE atau Cleanliness (kebersihan), Health (kesehatan), Safety (keamanan), dan Environment Sustainability (kelestarian lingkungan).

Anugerah Desa Wisata Indonesia juga digelar untuk mendorong berkembangnya sektor ini lebih masif. Sementara secara eksternal, promosi besar-besaran juga dilakukan. Misalnya, digelarnya program Kharisma Event Nusantara (KEN) yang merangkum 110 event unggulan se-Indonesia. Wisnu juga memaparkan Kemenparekraf turut aktif mengikuti sejumlah acara berskala internasional.

Pembangunan lima Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) yaitu Danau Toba, Borobudur, Likupang, Labuan Bajo, dan Mandalika juga menjadi bagian dari strategi ini.

“Keberadaan lima DPSP ini diharapkan mampu mendongkrak perekonomian Tanah Air dan membuka lapangan pekerjaan baru,” tambahnya.

Kebijakan visa juga dibenahi dengan penerapan Visa on Arrival (VoA) dengan masa tinggal 30 hari, biaya Rp500 ribu, dan tersedia bagi wisawatan dari 86 negara. VoA juga bisa diperpanjang untuk 30 hari lagi. Visa Second Home juga disediakan dengan lama tinggal bisa mencapai 5-10 tahun dengan biaya hanya Rp 3 juta dan tersedia untuk warga dari seluruh negara.

Pada 2023, Indonesia menargetkan 31 persen wisatawan datang dari kawasan ASEAN, 25 persen dari Eropa, 17 persen dari Oceania, 16 persen dari Asia di luar ASEAN dan 6 persen dari Amerika Serikat. Sementara jika dilihat tiap negara, maka target masih didominasi dari Australia dengan angka optimis sekitar 1,2 juta. Disusul kemudian berturut-turut Singapura (900 ribu), Malaysia (600 ribu), India (473 ribu) dan Amerika Serikat (164 ribu). [ns/ah]

Sumber: www.voaindonesia.com