News  

Banjir Turis China pada Februari, Jokowi Pastikan Tak akan Lakukan Pembatasan

Presiden Joko Widodo memprediksikan turis dari China akan membanjiri Indonesia pada Februari. Namun, Jokowi menegaskan pemerintah tidak akan melakukan pembatasan terhadap kedatangan turis China meski negara tersebut sedang mengalami lonjakan kasus COVID-19.

“Kita membuka untuk turis semua negara tanpa terkecuali, termasuk dari Tiongkok, silakan. Saya melihat di awal bulan Februari ini akan berbondong-bondong ramai turis dari Tiongkok masuk ke Manado, masuk ke Sulawesi Utara,” ungkap Jokowi ketika meninjau Kawasan Wisata Bunaken, Manado, Sulawesi Utara, Jumat (20/1).

Presiden Jokowi memprediksikan turis dari China akan membanjiri Indonesia pada Februari. . (Biro Setpres)

Presiden menegaskan ia tidak khawatir dengan banyaknya turis mancanegara yang akan masuk ke Tanah Air, mengingat para turis tersebut telah melalui sejumlah protokol kesehatan sejak masih berada di negaranya masing-masing. Selain itu, mantan gubernur DKI Jakarta ini juga meyakni bahwa kekebalan komunal masyarakat Indonesia sudah sangat tinggi.

“Sekali lagi kita terbuka untuk turis dari manapun, tapi yang kita lihat yang akan banyak dari Tiongkok dan yang paling penting protokol kesehatan. Tapi di Tiongkok sendiri saya melihat yang mau keluar juga sudah dicek semuanya oleh negara mereka. Jadi kita enggak perlu khawatir. Yang kedua juga imunitas kita ini sudah pada posisi kekebalan komunitas sudah baik di angka 98,5 (persen),” jelasnya.

Pelancong berjalan setelah mereka tiba di Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang, di pinggiran Jakarta, 1 Januari 2021. (Photo: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Pelancong berjalan setelah mereka tiba di Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang, di pinggiran Jakarta, 1 Januari 2021. (Photo: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Risiko Penularan Tetap Ada

Ahli Epidemilogi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman memperingatkan bahwa kebijakan pemerintah yang tidak membatasi kedatangan turis asing tetap akan berisiko. Namun, ia berpendapat bahwa risikonya jauh lebih menurun, dan bahkan bisa dapat lebih menurun dengan pengetatan prosedur diberbagai pintu masuk negara, misalnya kewajiban vaksinasi COVID-19 booster, dan tidak memiliki gejala COVID-19 apapun.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. (Foto: Dok Pribadi)

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. (Foto: Dok Pribadi)

“Karena mengandalkan modal imunitas itu harapan yang semu dalam artian nggak bertahan lama. Jadi yang harus diperkuat adalah sistem kesehatan di mana ada banyak sekali ya tentu, antara lain vaksinasi yang selalu terjaga,” ungkap Dicky kepada VOA.

Sementara itu, pakar epidemilogi dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo sependapat dengan kebijakan Presiden. Namun ia tetap mengingatkan agar pemerintah selalu mengedepankan prinsip kewaspadaan dan juga kehati-hatian.

Terkait kekebalan atau imunitas COVID-19 yang seiring dengan berjalannya waktu akan menurun, Windhu menyarankan pemerintah harus selalu melakukan sero survei dalam kurun waktu tertentu. Hal ini diperlukan guna melakukan pengecekan terhadap perkembangan imunitas di kalangan masyarakat.

“Pemerintah kan secara periodik (enam bulan sekali selama pandemic -red) melakukan sero prevalence survey, terakhir Juli 2022, dan Januari-Februari 2023 ini akan diulang kembali untuk melihat perkembangan imunitas di populasi. Saya yakin hasilnya nanti akan nyaris 100% yang punya imunitas terhadap COVID-19,” katanya.

“Memang imunitas akan menurun seiring dengan waktu, tapi tidak drastis, sementara infeksi alamiah akan masih terus ada, dan cakupan vaksinasi terus ditingkatkan oleh pemerintah meski akhir-akhir ini lajunya melambat,” tambah Windhu. [ah/gi]

Sumber: www.voaindonesia.com